#melayang {position:fixed;_position:absolute;bottom:30px; left:0px;clip:inherit;_top:expression(document.documentElement.scrollTop+document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

Senin, 20 Januari 2014

sufisme

Pemikiran Al Hallaj dalam tasawuf Falsafi

Ajaran Abu Yazid tentang ittihad mempunyai pengaruh besar dalam perkemangan filsafat tasawuf sesudahnya. Karena itu pada tahun 244 H/858 M lahirlah Abu Mugis al-Husain bin Mansur al-Hallaj al-Baidhawi di kota Baidha (Iran) yang dikenal dengan al-Hallaj. Agama semula yang dipeluknya adalah Zoroaster kemudian memeluk agama Islam.

Pada usia 16 tahun ia berada di Tustar belajar tasawuf dengan Abdullah Tustari dan pada usia 18 tahun ia berangkat ke Basrah dan Bagdad. Di Bagdad ia belajar dengan Junaidi al-Bagdadi dan Amru bin Usman al-Makki. Setelah menunaikan ibadah haji ia kembali ke Bagdad dan selanjutnya ia mulai mengembara ke Ahwaz, Hurasan, Turkistan, dan ke India ia mempelajari filsafat Hindu dan Budha dan juga mempelajari mistik dan astronomi. Pada usia 58 tahun ia kembali ke Bagdad dengan membawa ajaran yang mengagetkan para ulama fikih dan tasawuf.
Ubaid bin Sa’ad menulis dalam bukunya “Shilat Tarikh al-Thabari” mengutip dari beberapa buku yang ditulis al-Hallaj tentang ajaran fikihnya yang menggemparkan para ulama. Menurutnya orang yang ingin menunaikan ibadah haji dapat saja mengerjakan haji di luar Mekah, ialah dengan melakukan tawaf sekeliling sesuatu yang berbentuk segi empat pada bulan haji, memberi makan tiga puluh anak yatim serta memberi pakaian sepotong pada masing-masing dan uang sebanyak tujuh dirham maka tunailah kewajiban hajinya. Pada bulan Ramadhan orang tidak usah berpuasa tetapi cukup berpuaa selama tiga hari tiga malam secara bersambung dan pada hari keempat ia berbuka dengan meminum minuman tertentu, maka melalui cara ini tunailah kewajiban puasanya seumur hidup. Orang yang mengerjakan shalat sunat mulai tenggalam matahari terus menerus sampai siang hari, dapat menutup kewajiban shalatnya seumur hidup. Orang yang menyedekahkan semua harta yang didapatnya sehari ia dibebaskan dari membayar zakat dan bagi yang bermalam di kuburan syuhada Kuraisy selama sepuluh malam dan pada malam hari ia mengerjakan shalat sunat dan pada siang hari berpuasa dan berbuka hanya dengan roti dan garam dapat menutup seluruh ibadahnya yang wajib.
Di samping ajaran fikih yang ganjil, al-Hallaj juga pernah mengeluarkan kata-kata aneh. Ia berkata kepada para muridnya “Aku yang mengaramkan kaum Nuh, dan akulah pula membinasakan kaum ‘Ad dan Samud”. Katanya kepada para muridnya “Engkau Nuh, engkau Musa dan engkau Muhammad, aku yang memasukkan roh mereka ke dalam tubuhmu”. Dan ia berkata “Aku adalah al-Haq dan tidak ada yang ada dalam jubahku ini kecuali Tuhan”. Ia mengajarkan sebuah munajat kepada para muridnya “Wahai zat dari segala zat, kesudahan segala kesudahan, kami naik saksi bahwa Engkau berbentuk (berwujud) pada setiap masa dalam bentuk dan pada masa ini dalam bentuk Husein bin Mansur, wahai Yang Maha Mengetahui yang gaib”.
Ajaran al-Hallaj yang sangat menggemparkan itu oleh Ibnu Daud dianggap menyesatkan, yang akhirnya al-Hallaj ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, namun setelah setahun dalam tahanan al-Hallaj dapat melarikan diri dan bersembunyi di kota Sus tetapi akhirnya tertangkap lagi pada tahun 301 H/908 M. Sesudah delapan tahun al-Hallaj menjalankan masa tahanan, kemudian pada tahun 309 H/921 M al-Hallaj diadili di hadapan wazir merangkap Kadi Besar yang bernama Hamad bin Abbas dan atas dirinya dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan sebagai berikut, mula-mula dipukul dengan cambuk dan dipotong kedua tangan dan kaki, dipenggal kepala dan disalib dan tubuhnya dibiarkan beberapa hari di gantung di pintu gerbang kota Bagdad, kemudian dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris. Pada hari pelaksanaan hukuman, al-Hallaj dikeluarkan dari penjara. Banyak orang yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman ini terutama oposisi pemerintah yang tenggelam dalam kemewahan. Di antara yang hadir dari kaum shufi kelihatan Abu Bakar Syibli dan Abu al-Hasan al-Wasiti. Al-Hallaj ketika dikeluarkan dari penjara dikawal kepala polisi yang bernama Abdussamad. Setelah sampai ke tempat pelaksanaan hukuman al-Hallaj melakukan shalat dua rakaat dan setelah selesai ia mengucapkan syi’ir yang maksudnya: Aku mencari tempat yang aman di atas permukaan bumi ternyata bumi ini bukanlah tempat yang aman. Kuikuti kehendak nafsuku ternyata aku diperdayakannya, tetapi setelah aku merasa cukup dengan yang ada barulah aku merasa merdeka”. “Aku tidak menyerahkan diriku merasa kesakitan kecuali aku tahu bahwa kematian itu akan menyembuhkannya”.
Algojo Abu al-Haris tampil dengan sikap kejam, muka al-Hallaj ditamparnya sehingga keluar darah dari hidungnya. Orang yang menghadiri ada yang berteriak dan ada pula yang pingsan. Al-Hallaj dengan tenang berkata “Tuan-tuan menjalankan undang-undang dan siapa yang melanggar undang-undang syariat dihukum. Kemudian algojo mematahkan kedua tangan dan kakinya, kemudian dinaikkan ketiang salib dalam keadaan pingsan dan dikala ia sadar muridnya bertanya “hai guru berikanlah kata terakhir apa arti tasawuf. Dengan terputus-putus ia menjawab “yang kau lihat inilah semudah-mudah arti tasawuf”. Setelah kepalanya terkulai dan meninggal, mayatnya dibiarkan beberapa hari dan kemudian mayatnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris.
Inti ajaran tasawuf al-Hallaj terdiri dari tiga pokok; hulul, Nur Muhammad yang qadim dan Wahdatul Adyan.
a. Hulul
Kata “hulul” yang sinonimnya “infusion” diartikan dengan “penyerapan” yakni menyerap keseluruh bagian obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive obyec). Hulul yang demikian digambarkan oleh al-Hallaj “hulul lahut fi nasut” (penyerapan roh ketuhanan ke dalam tubuh manusia). Hulul yang seperti ini terjadi bilamana jiwa seseorang teah bersih di dalam menempuh perjalanan hidup batin, berpindah dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi, dari mawam Muslimin, Mukminin, Salihin, dan Muqarabin. Pada tingkat muqarabin ini manusia telah dekat dirinya dengan Tuhan, Di atas tingkat muqarabin, roh ketuhanan (lahut) menyerap (masuk) ke dalam roh manusia dan (nasut) yang akhirnya lenyap (fana) lah roh kemanusiaan karena telah bersatu dengan roh ketuhanan laksana persatuan antara gula dengan air. Dalam kitabnya yang berjudul “Tawasin” al-Hallaj berkata “Kau telah mencampur rohmu ke dalam rohku seperti percampuran air anggur dengan air murni. Apabila sesuatu menyentuhmu maka akupun tersentuh karena kau dan aku satu dalam segala hal”.
Kalau roh ketuhanan telah masuk dan bersatu dengan roh kemanusiaan apa saja yang keluar dari manusia semuanya dari Tuhan. Al-Hallaj dalam “Tawasin” berkata “Aku adalah engkau tidak diragukan, kemahasucianmu adalah juga kemahasucianku, mentauhidkan engkau adalah juga mentauhidkan aku, berbuat maksiat kepadamu juga berbuat maksiat kepadaku”. Karena itu menurut al-Hallaj manusia dapat menjelma menjadi Tuhan atau sekurangnya mempunyai sifat ketuhanan, bukan saja pada diri Isa bin Maryam bahkan siapa saja yang mampu menfanakan dirinya ke dalam Tuhan dan baqa di dalam Tuhan ia akan menjadi Tuhan dan pada saat itu tiak ada perbedaan antara dirinya sebagai nasut (manusia) dan Tuhan sebagai Lahut. Dalam bukunya “Tawasin” al-Hallaj berkata: Aku adalah rahasia al-Haq, bukankah al-Haq itu aku, bahkan aku adalah al-Haq, maka bedakan antara kami”. Perbedaan antara dirinya dengan Tuhan diterangkan al-Hallaj dalam bukunya “Tawasin” katanya “Tidak ada perbedaan antaraku dan antara Tuhanku melainkan dari dua sisi; adanya kami dari pada-Nya dan segala keperluan kami dari pada-Nya.
Apabila roh ketuhanan telah masuk ke dalam tubuh, tidak ada kehendak yang berlaku melainkan kehendak Allah. Roh Allah telah menyerap ke dalam dirinya sebagaimana roh ketuhanan yang telah menyerap ke dalam tubuh Isa bin Maryam. Itulah sebabnya—katanya—Allah memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam karena dalam tubuh sudah ada roh ketuhanan.
Ajaran al-Hallaj dan ajaran Kristen nampaknya bertemu dalam ide Hulul yang menganggap roh Tuhan dapat masuk ke dalam tubuh Isa al-Masih. Menurut al-Hallaj bukan pada Isa al-Masih saja, roh Tuhan menjelma tetapi juga setiap insan yang telah mampu menfanakan dirinya ke dalam Tuhan sehingga baqa di dalam Tuhan.

b. Nur Muhammad yang Qadim
Pembicaraan tentang asal muasal segala yang maujud sudah dibicarakan dalam kelangan filusuf Yunani. Plotinus salah seorang filusuf Yunani yang pertama yang membicarakan tentang makhluk pertama atau limpahan pertama dari Tuhan. Plotinus menamakan nous yang kemudian dikembangkan oleh para filusuf di belakangnya di antaranya al-Farabi dan Ibnu Sina menamakannya akal pertama, al-Hallaj menamakannya Nur Muhammad, Ibnu Arabi menamakannya Al-Hakikatu al-Muhammadiyah dan Suhrawardi menamakannya Nur Pertama.
Nama-nama ini sesudahnya mengacu kepada makhluk pertama atau limpahan pertama dari Tuhan yang oleh para filusuf juga dinamakan “hyle” atau dalam bahasa Arabnya “hayula” atau juga dinamakan “Materia Prima”. Menurut penelitian bahwa al-Hallajlah yang pertama kali membawa ide kejadian alam ini dari Nur Muhammad dalam dunia tasawuf. Menurutnya Nur Muhammad itu terjadi dua rupa. Rupa yang pertama yang qadim yang terjadi sebelum terjadinya semua yang ada ialah Nur-Nya. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai nabi dan rasul urusan Tuhan, dan rupa yang seperti inilah yang menempuh fana atau mati. Nur Muhammad adalah asal segaa sesuatu dan bersifat qadim karena kedekatannya dengan zat Tuhan dalam martabat. Nur Muhammad dikatakan qadim karena Nur Muhammad itu berada pada martabat kedua yaitu martabat wahdah (penmapakan pertama) atau ta’ayun (identifikasi) dari Tuhan yang berada pada martabat pertama ialah martabat ahadiyah, martabat mutlak zat atau “la ta’ayun” yakni tidak menampakkan diri, sunyi dari sifat dan segala bentuk kaitan, Ia merupakan “kunhu zat” (essensi) al-Hak. Maka melalui martabat wahdah Tuhan menampakkan diri, karena pada martabat ahadiyah (Esa Mutlak) tidak mungkin dikenal maka melalui Nur Muhammad, Tuhan baru dapat dikenal melalui hakikat, sifat, dan asma-Nya, dan melalui pengetahuan (ma’rifat). Menurutnya melalui Nur Muhammad, Tuhan memanifestasikan hakikat, sifat dan asma-Nya secara langsung. Seterusnya Nur Muhammad memancarkan sinarnya kepada setiap hati manusia yang masih tertutup dengan hijab, dosa dan kecintaan kepada selain Allah, manusia yang mampu menerima sinar tersebut hanya hati yang suci dan terbuka untuk menerima hakikat sifat dan asma-Nya dan seterusnya ia dinamakan “insan kamil” yakni manusia yang sempurna.
Pengakuannya terhadap Nur Muhammad yang qadim hanya beda qadimnya dengan qadim zat Tuhan adalah zat Tuhan itu qadimnya lebih dahulu dalam sebutan, Roh manusia berasal dari Nur Muhammad yang qadim, ia dapat bersatu dengan Nur Muhammad yang qadim.
c. Wahdatu al-Adyan
Di samping ide Hulul dan Nur Muhammad yang qadim, al-Hallaj juga mengemukakan pandangannya bahwa semua agama yang namanya berbeda-beda Islam, Yahudi, Kristen, dan lainnya hanyalah perbedaan nama, namun hakikatnya satu jua. Semua agama yang namanya berbeda-beda adalah jalan menuju Allah. Orang yang memilih agama atau lahir dalam lingkungan keluarga yang menganut salah satu agama, bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi telah ditentukan atau sudah ditakdirkan Allah. Dan begitu juga ibadah (ritual) yang berbeda warna dan cara, isinya hanya satu ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada hari ini orang boleh saja beribadah dalam mesjid, besok dalam gereja, dan seterusnya dalam pura, karena tempat-tempat itu juga tempat menyembah Allah. Karena itu menurut al-Hallaj tidak perlu seorang menganggap agama yang dianutnya yang benar, tidak perlu seorang mencela agama lain karena agama itu semua benar karena adalah agama Allah, memeluk sesuatu agama adalah berdasarkan takdir Allah. Tidak perlu bersengketa karena agama, tetapi yang penting setiap pemeluk agama memperdalam agamanya masing-masing. Pandangannya tentang wahdatul adyan (kesatuan agama) juga tidak terlepas dari sorotan para ulama.
Inilah tiga pokok ajaran al-Hallaj yang menggegerkan para ulama fikih yang tidak menerima pandangannya dalam bidang fikih, sehingga mereka mengeluarkan fatwa penyesatannya. Juga orang shufi seperti Junaidi al-Bagdadi sangat menentang ajaran al-Hallaj dan mengatakan ajaran al-Hallaj tersesat. Karena itu dalam buku-buku tasawuf mengeluarkan al-Hallaj dari jajaran shufi dan ajarannya dianggap tersesat, ajarannya bukan tasawuf tetapi mistik, al-Hallaj bukan shufi tetapi mistikus.
Setelah al-Hallaj mati di tiang salib pada tahun 309 H/921 M, setelah diadili di depan Kadi Besar al-Hamid bin Abbas, semua karyanya dilarang beredar, dilarang menjual dan membelinya, sehingga ajarannya hanya beredar dari mulut ke mulut dari para muridnya atau melalui catatan para penulis sejarah yang sempat mencatat sebagian pendapatnya. Setelah al-Hallaj meninggal para pengikutnya masih giat menyebarkan ajarannya dengan diam-diam. Mereka sengaja mengeluarkan isu-isu yang menyesatkan dan berita-berita bohong yang disebarkan untuk menarik para pengikutnya, bahwa yang naik ketiang salib bukan al-Hallaj tetapi orang yang diserupakan dengan al-Hallaj bahkan katanya mereka bertemu dengan al-Hallaj setelah beberapa waktu setelah peristiwa penyalibannya, yang nampaknya cerita itu diambil dari cerita tentang penyaliban Isa al-Masih.


by:sadar syahroni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar